14 Mei 2009

PENEGAKAN HUKUM PERLIDUNGAN KONSUMEN SEBAGAI WUJUD PELAYANAN PENCARI KEADILAN

abstrak
Penegakan hukum (law enforcement) yang bermuatan perlindungan konsumen memang sedang didambakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat (konsumen) yang sedang menjadi korban pengusaha (perusahaan) yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Kecenderungan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, merupakan tantangan riil yang menguji aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan dan mewujudkan penegakan hukum
Kata Kunci
penegakan hukum, pencari keadilan, perlindungan konsumen
Pendahuluan
Dunia perdagangan dan industri tumbuh dan berkembang semakin komplek akhir-alhir ini, sehingga melahirkan ketidak adilan sosial dan ekonomi bagi konsumen. Hubungan interdependensi yang ada antara pelaku usaha dan konsumendalam perdagangan, praktis bergeser ke arah dependensi konsumen terhadap dunia usaha. Dalam dalam hal, konsumen menerima segala sesuatu dari kalangan dunia usaha sebagai sesuatu yang “Given”, baik informasi, jenis dan macam produk, kualitas produk, dll praktis daya tawar konsumen semakin lemah. Kekuatan pasar sedemikian rupa (yang antara lain ditandai dengan pertumbuhan konglemerasi dan multi nasional corporation (MNC), menjadikan nasib konsumen semakin terpuruk.Akankah persoalan konsumen akan dapat diatasi melalui mekanisme hukum? Jawabnya tergantung pada bagaimana pelaku usaha dan konsumen serta pemerintah.Hukum perlindungan konsumen belum mampu menghilangkan semua ketidak adilan pasar, tanpa dibarengi dngan upaya memperbaiki mekanisme pasar itu sendiri. Oleh karena itu pembahasan tentang penegakan hukum penyelesesaian sengketa konsumen, hanyalah sebagian kecil dari upaya untuk menyelesaiakan sengketa konsumen sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia.Penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan didasarkan kepada undang-undang NO. 8. Tahun 1999 Tantang Pelindungan Konsumen (UUPK), KepPRES NO> 90 Tahun 2001 Tantang Pembentukan BPSK, Keputusan Memperindag RI NO. 301 Tahun 2001 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sektetariat BPSK, sertaKeputusan Memperindag RI NO. 350 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, maka terbentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia.

Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen
Aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi institusi yang penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya.Mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma norma hukum atau peraturan perundang undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga komponen ini, baik struktur hukum, substans hukum maupun budaya hukum oleh LM. Friedman dikatakan sebagai susunan struktur hukum (LM Friedman, 1975:11)Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam pembukaan UUD’45.Penegakan hukum dalam kurun waktu yang lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab hukum tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran. Dalam perkembangannya banyak para pelaku usaha telah melakukan pelanggaran serta penyalahgunaan untuk sebuah kepentingan usaha semata, sebaliknya para penegak hukum tidak mampu menjalankan supremasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap para aparatur hukum. Dalam kurun waktu tersebut hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasan, dan kepentingan golongan. Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi.Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha.Fakta menunjukkan bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum. Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai berikut: Pertama, sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang sendiri dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara yuridis dilindungi oleh undang-undang. Kedua, konsisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui lawyer). Hambatan psikologis ada pada mereka untuk memasuki prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin.
Pada akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan, ketimbang kasus-kasus konsumen. Ketiga, pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit, dan mahal.Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran prosedur peradilan yang formal, mahal dan berbelit-belit, bukan hanya terdapat di Negara-negara berkembang saja. Akan tetapi dalam beberapa kasus besar yang menyangkut kerugian dan banyaknya korban, barangkali, peradilan adalah tempat yang pas untuk penyelesaian masalah tersebut, karena aspek kepastian hukum seringkali masih dinilai banyak pihak sebagai suatu kelebihan dari dunia litigasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah. Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu hak dasar konsumen. Tujuan perlindungan konsumen dalam pasal 3 UUPK (butir c dan d) tegas menyatakan bahwa perlu adanya peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, serta upaya menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakkan secara kokoh dan konsisten, karena ketidak pastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Ketaatan ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. (Abdul Rahman Saleh, 2004:29).Pembaharuan dan penegakan hukum harus dimulai dari pemerintah, aparat hukum dan masyarakat, sebab tidak mudah untuk menyadarkan tentang arti dan makna hukum yang sesungguhnya, keberadaan lembaga-lembaga hukum di negara Indonesia tidak bekerja secara maksimal karena disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut akan menjadi kendala dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam perkembangan demokrasi hukum selalu dituntut untuk maju sesuai dengan paradigma hukum yang menjadi kewajiban kita sebagai masyarakat yang harus peka terhadap perubahan disekitarnya dan juga merupakan tantangan masa depan dalam membangun konstruksi hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum.Masyarakat Indonesia yang heterogen dan majemuk serta mempunyai sistem sosial yang berbeda-beda, dapat memberi pengaruh dan warna terhadap hukum, oleh karena itu rancangan konstruksi hukum harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Hukum juga bersumber pada unsur budaya, apabila beberapa budaya yang sangat berlainan saling berhubungan, maka penggalian hukum yang satu dengan yang lainnya akan menimbulkan akulturasi dan asimilasi, sebab proses interaksi beberapa unsur budaya tersebut, menuntut adanya suatu transformasi atau bahkan lepasnya, nilai-nilai yang menjadi dasar sistem hukum terdahulu sehingga memerlukan pembaharuan. Sebab hukum sebagai kerangka ideologi perubahan struktur dan kultur masyarakat (Erman Rajagukguk, 1983:72). Penegakan hukum perlindungan konsumen akan terlihat hasilnya apabila aparatur hukum, (dalam hal ini BPSK) baik mulai dari perancangan hukumnya serta masyarakat, hingga ke penegak hukumnya bisa menunjukan perannya masing-masing. Negara Indonesia sekarang ini tengah mengalami disintegrasi sosial dan ini adalah sebuah persoalan yang harus dihadapi dan harus dikembangkan kapasitas sistem sosial yang menghormati tingkatan-tingkatan pluralisme.Yang menjadi musuh masyarakat adalah seseorang yang melakukan kejahatan tanpa adanya sanksi dan dibebaskan begitu saja secara mutlak.(Mochtar Kusumaatmadja, 2002:85) Bahwa keberadan hukum dan kultur masyarakat berhubungan erat sekali, karena mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya. Konsepsi hukum yang akomodatif merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dan hendaknya bisa diterima oleh masyarakat luas. Peran masyarakat sangat menentukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era reformasi saat ini fungsi dan peranan masyarakat adalah sebagai pihak yang mengontrol terhadap hukum, dan ini merupakan komponen yang sangat manentukan dan butuh kesadaran dari mereka sendiri. Masyarakat Indonesia tengah berada dalam kondisi ideal dan sebagai tolak ukurnya adalah demokratisasi dan kebebasan menyampaikan pendapat dapat terealisasi dengan adanya aturan-aturan normatif yang sudah ada sesuai dengan cita-citakan bersama. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia juga perlu mendapat perhatian sebagaimana yang terkandung dalam filsafat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sehingga proses transformasi masyarakat benar-benar menjadi satu masyarakat dengan kultur yang.berlandaskan nilai-nilai pancasila. Berdasarkan realitas empirik di atas bahwasanya persoalan penegakan hukum dan transformasi kultur yang ada di masyarakat telah menimbulkan beberapa permasalahn yang berhubungan erat dengan dinamisasi dan progresifitas budaya masyarakat yang berimplikasi terhadap proses penggalian hukum dan penegakan supremasi hukum yang ada.
Makna Penegakan Hukum
Berbagai wacana yang dituangkan dalam berbagai media, hasil penelitian, survei, seringkali penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses peradilan di pengadilan. Penegakan hukum hanya diartikan sebagai tindakan represif belaka. Penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses penyelesaian perselisihan belaka. Pengertian pengertian tersebut dapat menyesatkan, karena tidak menyentuh secara menyeluruh fenomena dan masalah penegakan hukum. Ketika penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses di pengadilan belaka, maka akan menyesatkan, karena semestinya penegakan hukum bukan sekedar beracara di pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan kepolisian.Dimata masyarakat, institusi ini tidak kurang bermasalah bahkan sumber masalah bagi masyarakat. Demikian pula ketika penegakan hukum hanya diartiakan sebagai tindakan represif belaka, tanpa memasukkan upaya upaya pencegahan. Kalaupun pencegahan dimasukkan, biasanya hanya terbatas pada tatanan kontrol dalam arti tindakan tindakan seperti pemeriksaan dan pelaporan. Tidak kalah penting upaya penegakan hukum melalui upaya pencegahan yaitu dengan penataan aturan kerja, tata kerja, sistem pengorganisasian dan sebagainya.Fenomena penegakan hukum bukan semata mata berkaitan dengan sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda depan dalam berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan fenomena penegakan hukum, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.Dimata para intlektual pemahaman terhadap penegakan hukum juga bervariatif. Seorjono Soekanto, (2004:3) memberikan pengertian bahwa Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap sebagai serangkaian penjabaran nilai tanpa akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Sukarton Marmosudjono, bahwa Penegakan hukum adalah keseimbangan dari keseluruhan keberadaan dan kepribadiannya dan bertindak atas dasar kebenaran serta pertimbangan hati nurani dan keyakinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Salahuddin Wahid, bahwa Penegakan hukum adalah upaya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada dalam kaidah-kaidah hukum tersebut (Salahuddin Wahid, 2003:83). Pendapat yang lain dikemukakan oleh Barda Wawawi Arief, Penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hak asasi manusia, serta tegaknya kebenaran dan keadilan, dan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan praktek favoritisme, yang diwujudkan dalam seluruh norma atau tatanan kehidupan masyarakat (Barda Wawawi Arief, 2001:22).Al-Quran secara implisit juga menjelaskan tentang menegakkan kebenaran dan keadilan yang merupakan bagian dari penegakan hukum, sebagaimana yang tercantum surat An nisa’ yang mengatakan bahwa ;“Apabila kamu menghukum di antara manusia maka hukumlah dengan adil “(Surat An-Nisaa’:58). “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran atau keadilan” (Surat An-Nisaa’:135).“Tegakkanlah kebenaran dan keadilan walaupun pada dirimu sendiri, ayah, ibumu, maupun pada karib kerabatmu (kroni-kronimu)” (Surat An-Nisaa’ 135).
Komponen Komponen Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Penegakan hukum adalah sebuah sistem yang akan meliputi berbagai komponen sebagai subsistem, termasuk penegak hukum itu sendiri. Pergeseran itu juga akan memungkinkan meninjau secara lebih meluas mengenai fenomena dan persoalan penegakan hukum kita. Suatu keadaan obyektif yang tidak perlu disembunyikan atau ditutupi yaitu masih banyak keluhan mengenai pelaksanaan penegakan hukum. Keluhan tidak hanya dari pencari keadilan yang terlibat yang berkepentingan atas suatu persoalan hukum konkrit, melainkan masyarakat pada umumnya, atau dari mereka yang menempatkan diri sebagai juru bicara pencari keadilan atau masyarakat. Namun sorotan sorotan terhadap keadaan yang obyektif tersebut seringkali juga tidak memuaskan dalam upaya pemecahan masalah, karena pemahaman pemahaman yang diberikan terhadap penegakan hukum kurang tepat atau kurang lengkap (Baqir Manan, 2005:25)
Fenomena penegakan hukum bukan semata mata berkaitan dengan sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda depan dalam berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan fenomena penegakan hukm, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.
Komponen komponen penegakan hukum bukan sekedar proses peradilan apalagi proses di pengadilan. Selain itu masih di dapati komponen komponen lain yang besar peran dan pengaruhnya terhadap kegaduan hukum kita. Diantara komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut:

A.Substansi/Aturan hukum yang ditegakkan atau dilaksanakan

Faktor ini merupakan output dari sistem hukum atau norma-norma hukum yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku manusia serta hak dan kewajiban manusia, yaitu mengatur pihak yang menegakan dan melaksanakan hukum maupun pihak yang diatur atau yang terkena peraturan. Keberadaan hukum tertulis ini tergantung pula terhadap kualitas para pembentuknya, sebab dalam pembuatan hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan bersifat stabil yang mampu bertahan untuk jangka waktu yang lama, apabila pembentuk Undang-undang (“legal drafter”) atau peraturan tertulis itu tidak berkualitas (ahli dan professional) maka jangan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bahkan hanya mementingkan penguasa dan merugikan rakyat atau masyarakat.Permasalahan substantif hukum adalah kuatnya paradigma positivisme hukum berdasarkan pada tradisi sistem hukum “civil law” yang selalu menitik beratkan pada keberadaan hukum positif sebagai dasar pengambilan keputusan sehingga orientasi utamanya adalah pada pembuatan peraturan perundang-undangan seperti yang telah dilakukan untuk mengganti produk hukum warisan Belanda yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasiSudah menjadi pengetahuan yang luas, banyak dijumpai keadaan yang tidak atau belum memuaskan mengenai aturan aturan hukum yang ditegakkan ( Hukum substantif atau hukum materiil

B. Kelembagaan Penegak Hukum

pelaksanaan penegakan hukum adalah lembaga hukum yang diciptakan oleh negara berdasarkan Undang-undang. Hal ini sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Indonesia yang harus juga di bangun sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini. Penegakan hukum oleh lembaga struktural ini tergantung pada kemampuan, kejujuran (moral), keberanian, dan kemauan bekerja keras secara profesional manusia-manusia yang ada di lembaga tersebut. Sistem lembaga peradilan yang ada belum mampu memberikan pelayanan hukum yang memuaskan sehingga kepercayaan masyarakat mulai pudar terhadapnya, yang terpenting lagi menejemen organisasi yang perlu dibenai dan di evaluasi kembali. Lahirnya BPSK yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (lihat pasal 49 ayat 1 UUPK) yang penyelesaiannya dilakukan dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase menyebabkan BPSK merupakan lembaga non litigasi (ADR) atau sebagai lembaga penegak hukum yang diakui keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan.Adanya politik hukum yang menyangkut lembaga peradilan yaitu dibangunnya system dinding dinding pemisah antara pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Dinding dinding pemisah ini bukan saja menimbulkan curiga dan saling menggunjing diantara para penegak hukum, tetapi dalam berbagai hal

C. Perilaku Penegak Hukum

Aparatur hukum merupakan penyumbang atas buruknya sistem hukum Indonesia, citra aparatur hukum sebagai mafia peradilan. Keadilan merupakan barang langka bagi masyarakat, sebab pengadilan lebih merupakan tempat mencari kemenangan berdasarkan kekuatan ekonomi dari tempat mencari keadilan. Kotornya dunia peradilan bukan hanya ditunjukkan melalui vonis bebas yang dijatuhkan hakim atas terdakwa perkara korupsi, melainkan juga terlibatnya penegak hukum didalam tindak pidana korupsi yang seolah tanpa baas. Berkaitan dengan maraknya korupsi dikalangan para penegak hukum, Denny Indrayana seorang ahli hukum Tata Negara UGM mengemukakan, bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka sangat luar biasa apabila yang melakukan korupsi adalah penegak hukum itu sendiri. (Kompas, 21 Juni 2006).Sejumlah perkara pidana korupsi telah menyeret oknum penegak hukum ke kursi terdakwa/tersangka. Kasus yang masih hangat, misalnya terseretnya sejumlah petinggi polisi dalam perkara pembobolan BNI oleh Grup Gramarindo sebesar 1.2 trilyun (3 polisi yang terlibat). Tidak cukup polisi, giliran hakim yang terseret glombang tindak pidana korupsi (Hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman Allositandi) dalam perkara korupsi di PT Jamsostek. Kasus suap MA dengan terdakwa Probosutejo (Jawa pos, 19 Juni 2006).Contoh kasus diatas sudah cukup menggambarkan, betapa kotornya dunia peradilan telah memanfaatkan kewenangan dan kekuasaannya hanya untuk ambil bagian memperoleh keuntungan saat menangani perkara tindak pidana korupsi. Gambaran di atas memperlihatkan bagaimana wajah aparatur hukum terutama kejaksaan, kepolisian, dan hakim, serta profesi advokat di Indonesia, harus segera dicarikan solusi atau formula yang tepat karena hal ini sudah menjadi penyakit yang kronis bagi bangsa ini. Faktor paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengoptimalkan penegakan hukum adalah factor sosok penegak hukumnya (Ahmad Ali, 2002;90). Permasalahan aparatur hukum terletak pada menejemen organisasi dan menejemen sumber daya manusia yang meliputi masalah struktur, fungsi, dan mekanisme organisasi yang tidak efesien, sedangkan menejemen sumber daya manusia terkait dengan upaya untuk mendapatkan aparat hukum yang berkualitas, tingkat pendidikan yang sesuai dan sistem evaluasi kerja yang fair berdasarkan kompetensi dan prestasi.

D. Faktor Sarana dan Fasilitas.

Penegakan hukum tanpa adanya sarana atau fasilitas, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar, sebab sarana dan fasilitas harus mencakup sumber daya manuasia yang berpendidikan dan terampil, manajemen peradilan/pengorganisasian yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Karena tugas yang diemban sangatlah berat, oleh sebab itu sarana dan prasarana merupakan faktor yang mendukung dalam penegakan hukum, dengan demikian pelaksanaan penegakan hukum bisa secara optimal sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegakan hukum dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dilakukan secara aktual.

Kesimpulan

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman atau dasar bagi perbuatan atau sikap yang dianggap sesuai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undang semata, tetapi penegakan supremasi hukum merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan secara umum dalam pembangunan di berbagai bidang, termasuk di bidang perlindungan hak-hak konsumen. Ketika aparat gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, maka ini sebenarnya dapat dijadikan indikasi kegagalan membangun pemerintahan yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad, 2002, Keterpurukan Hkum di Indonsia, Jaskarta, Ghalia Indonesia.

Arief Nawawi, Barda., 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Friedman, L.M., 1975,The Legal System; A Social Perspective, New York, Russel Sage Foundation,
Kusumaatmadja, Mochtar., 2002. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni. Manan,Baqir, Prof, Dr, Opini, Peningkatan Peranan Penegakan Hukum, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol. 4, No. 6, Maret-April 2005 Rajagukguk, Erman., 1983. Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Bina Aksara.Saleh Abdulrahman, Opini, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol. 5, No. 1, Mei-Juni 2005 Soekanto,Soerjono., 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahid, Salahuddin., 2003. Basmi Korupsi Jihad Akbar Bangsa Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu dan Center For Good Governance Studies.
Jawa Pos, 19 Juni 2006Kompas, 30 Desember 2002
Kompas, 21 Juni, 2006

09 Mei 2009

PERBEDAAN DAN EFEKTIVITAS ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL


Suatu Analisis Pengelolaan Zakat dan Pajak di Indonesia
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Mengenal cara memanfaatkan harta atau rezeki yang diberikan Tuhan, ajaran isam memberikan pedoman dan wadah yang jelas, diantaranya adalah melalui zakat, yaitu sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan rezeki.banyak hal yang diambil manfaatnya dengan adanya lembaga zakat ini. Tulisan dibawah ini mencoba memberikan tinjauan terhadap pelaksanaan zakat dan bagaimana penyetaraan pajak dengan zakat, yang hal ini terdapat suatu ketidak relefansinya antara pajak dan zakat dalam meminimalisir kemiskinan yang telah melaju kencang dinegara kita ini.
Efektivitas pelaksanaan zakat dapat merupakan salah satu sektor penunjang lajunya pertumbuhan ekonomi Nasional Negara Republik Indonesia. Jika pada masa sebelum islam pajak atau cukai merupakan sumber utama untuk membelanjai usaha-usaha perbaikan dalam suatu Negara maka zakat dalam kepecayaan islam jauh lebih luhur dan mulia fungsinya. Kalau pajak merupakan kewajiban semata-mata, maka zakat selain merupakan kewajiban juga sekaligus merupakan ibadah dan usaha pendekatan diri kepada Allah SWT. Sesuai dengan kejujuran masing-masing. Dan pajak juga dipungut dari simiskin maupun dari simampu dan senantiasa pajak dipungut dari rakyat jelata dan juga para pengusaha, akan tetapi hal ini tidak efektif dalam meminimalisir kemiskinan karena dalam penyaluran pajak tersebut tidak semata-mata untuk menurunkan angka kemiskinan, bahkan pada saat ini angka kemiskinan semangkin meningkat, padahal dari semua instalasi dipungut yang namanya pajak baik itu pajak yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sampai pada pajak perdagangan, sedangkan zakat dipungut dari simampu baik dia rakyat jelata, pegawai, pejabat, penguasa, pengusaha, pemuka-pemuka agama dan lain sebagainya. Dan adapun hasil dari pengumpulan zakat tersebut dapat disalurkan kepada orang ang miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat dominan dalam memberantas kemiskinan, akan tetapi suatu pertanyaan, apakah penarikan dan pelaksanaan zakat itu sudah efektif? Hal inilah yang nantinya akan dibahas dalam tulisan ini.
Rumusan Masalah.
Disini saya akan membahas sejauh mana peran zakat dan pajak dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian Nasional dan dapat meminimalisir kemiskinanan yang terdapat di dalam Negara kita ini.
Dan dalam hal ini juga sejauh mana peran Negara pada masalah zakat dan pajak dalam pelakasanaannya sehingga dapat terciptanya cita-cita. Dan juga bagaimana tinjauan atas wajibnya pajak dalam konteks Negara dan kewajiban zakat dalam konteks Agama. Hal ini memang bertolak belakang dari segi kewajiban akan tetapi saya mencoba untuk menganalisis sejauh mana peran kewajiban itu terhadap diri seseorang dalam meningkatkan kesadaran untuk mengeluarkan atau membayar apa yang wajib ia keluarkan ataw ia bayarkan. Dan kalau kita boleh bertanya bahwa Negara Indonesia ini dapat dikatakan Negara yang penduduknya mayoritas islam, akan tetapi mengapa rakyat yang tidak mampu juga mayoritas islam, ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran ummat Muslim yang kaya terhadap ummat Muslim yang miskin dalam hal saling menolong. Dan juga berapa banyak penguasaha yang dipungut pajaknya, bahkan tidak sedikit yang dipungut dari pajak tersebut akan tetapi mengapa kemiskinan di Negara kita ini juga semangkin bertambah bahkan semangkin meningkat.
Adapun saya akan mencoba membahas masalah-masalah zakat dan pajak yang pada bagiaan berikut ini:
I. Zakat dan Pajak
1.Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
- Unsur paksaan.
- Unsur Pengelola.
- Dari Sisi Tujuan.
2. Perbedaan antara zakat dan pajak
- Dari Segi Nama.
- Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban.
- Dari Segi Objek dan Persentase dan Pemanfaatan
II. Trasparansi antara Amil dengan Muzakki.
III. Transparansi antara Amil dengan Mustahik.
IV. Daftar Pustaka.

ZAKAT DAN PAJAK

Berbagai pendapat kini berkembang di kalangan masyarakat tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Sebagian mempersamakan secara mutlak, yaitu sama daam status hukumnya, tata cara pengambilannya, maupun pemanfaatannya. Sebagian lagi membedakannya secara mutlak, berbeda dalam pengertian, tujuan, tata cara pengambilan, sekaligus penggunaannya. Tetapi, ada pula yang melihat bahwa pada sisi tertentu terdapat kesamaan antara keduanya. Sedangkan pada sisi lain, terdapat perbedaan yan sangat mendasar antara keduanya:

1. Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak, antara lain sebagai berikut:
a. Unsur Paksaan.
Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat, wajib memaksanya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam surat At-Taubah: 103.
Dalam sebuah riwayat Abu Dawud dikemukakan bahwa ketika banyak orang mengingkari kewajiban zakat, di zaman Abu Bakar As-siddiq, beliau bersabda:
Artinya:
“ ...Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajban sholat dengan dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, jika mereka menolak mengeluarkan zakat unta yang biasa mereka tunaikan kepada Rasullah saw, pastiaku akan memeranginya, karena penolakan tersebut.”

Demikian pula halnya seorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib ajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.

b. Unsur Pengelola.
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-taubah : 60. Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus enangani zakat, yang memenuhi persaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya secara tepat dan benar.
Dalam bab III Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Disamping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
Kedua, menjaga perasaan rendah hati para mustahik zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para wajib zakat ( muzakki ).
Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta, zakat menurut prioritas yang ada pada suatu tempat.
Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintah yang islami.
Sementara itu dalam bab II pasal 5 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat, melalui amil zakat, bertujuan:
Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tututan agama.
Meningkatkan fungsi peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Meningkatkan hasil guna da daya guna zakat.
Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan ) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali,yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Dari Sudut Tujuan.
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah yaitu sebagai berikut:
Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat islam.
Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masyarakat.
Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup para gelandangan, para pengangguran, dan para tunasosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untui itu.
Pada akhirnya, zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman.
Demikian pula pajak, dalam beberapa tujuan relatif sama dengan tujuan tersebut diatas, terutama dalam hal pemebiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Sjechul Hdi Purnomo mengemukakan bahwa terdapat kesamaan dalam tujuan zakat dengan pajak, yaitu sebagaio sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.

2. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persaman di antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Dari Segi Nama.
secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, bekah, tunbuh, maslahat, dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh, berkah, dan berkembang. Demikian pula pada muzakki. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam Surah Ar-ruum: 39 dan Surah At-taubah: 103.
Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dhoribah yang secara etimologis berarti beban, seperti dalam kalimat:
“ ia telah membebankan kepadanya upeti untuk dibayarkan”
Kadangkala diartikan pula dengan Al-jizyah yang berarti pajak tanah ( upeti ), yang diserahkan oleh ahli dzimmah ( orang yang tetap dalam kekafiran, tetapi tunduk pada aturan pemerintah islami ).

b. Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban.

Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang bersifat qothi, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang masa. Yusuf Al-Qordhowi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan oleh siapapun. Seperti halnya sholat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di samping sebagai ibadah yang mengandung berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Karena itu, dalam pembahasan fiqhiyah, kajian zakat dimasukkan ke dalam bagian ibadah, bersama kajian tentang thaharah ( bersuci ), shalat, shaum, dan haji. Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara bersadarkan undang-undang.

b.Dari Sisi Objek dan Persentase dan Pemanfaatan.
Zakat, memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadist Nabi. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah surat at-taubah: 60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahik.
Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung pada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalamnya berbagai literatur dikemukaan bahwa besarnya pajak sangat tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:
a) Pajak pribadi. Dalam hal ini pengenaan pajak lebih memperhatikan keadaan pribadi seseorang, seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban finansial lainnya.
b) Pajak kebendaan. Yang diperhatikan adalah objeknya, pribadi wajib pajak dikesampinkan ( PPH Badan Hukum )
c) Pajak atas kekayaan. Yang menjadi objek pajak adalah kekayaan saeseorang atau Badan (PKK).
d) Pajak atas bertambahnya kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami kenaikan/pertambahan kekayaan, biasanya dikenakan hanya satu kali.
e) Pajak atas pemakaian( konsumsi ). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI)
f) Pajak yang menambah biaya produksi. Yaitu pajak yang dipungut karena jasa negara yang secara langsung dapat dinikmati oleh para produsen.
Jika zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama. Sjechul Hadi Purnomo menyatakan bahwa letak persamaan antara pendayagunaan pajak dan zakat adalah semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: 1. untuk agama non-islam. 2. untuk Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 3. yang tidak mengandung taqarrub ( kebajikan, kebaikan menurut ajaran islam)
4. dan yang berbau maksiat dan atau syirik menurut pandangan ajaran islam. Secara khusus Sjechul Hadi Purnomo juga menyatakan bahwa letak perbedaan pendayagunaan zakat dan pajak adalah sebagai berikut:
1. Empat macam pengecualian tersebut di atas tidak dapat dibayari dari dana zakat, sekalipun dapat dibiayai dari dana pajak. Karena keempat macam pengecualian tersebut bertentangan dengan arti ibadah dari zakat. Bahkan untuk pembangunan sarana agama non-muslim, aliran kepercayaan dan yang berbau maksiat dan syirik, dianggap membahayakan ajaran islam.
2. Banyak bidang yang dapat dibiayai dari dana zakat, tetapi tidak dapat dibiayai dari dana pajak, yaitu program dan kegiatan yang dapat dimasukkan dalam kategori mustahik zakat,-amilin, mu’allaf, riqab, dan gharim
Muhammad Baqir Al-Habsy mengemukakan bahwa perbedaan esensial antar zakat dan pajak antara lain sebagai berikut:
ketentuan kadar zakat yang diwajibkan oleh syari’at atas masing-masing jenis harta, seperti 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, dan 20 persen yang tidak sama dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan oleh setiap pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
Niat khusus yang menyertain pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah swt yang tidak dapat dipersamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
Ketentuan khusus tentang orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang dipebolehkan maupun tidak diperbolehkan menerima zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah diketahui secara jelas bahwa zakat dan pajak, meskipun pada beberapa sisi memiliki kemiripan dan kesamaan, akan tetapi pada sisi-sisi yang lain, memiliki beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Karenanya, tidak mungkin antara keduanya dianggap sama secara mutlak.
Keberadaan zakat bersifat abadi, sementara keberadaan pajak sangat ditentukan oleh kebijakan pemeriintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang. Demikian pula zakat hanya diwajibkan kepada kaum muslimin yang memenuhi persyaratan objek atau sumber zakat, sedangkan pajak berlaku pada setiap warga negara, dengan tidak membedakan agama yang dianutnya. Demikian pula dalam aspek pemanfaatan dan pendayagunaan.

Transparansi Antara Amil dan Muzakki

Menurut analisis saya, bahwa salah satu problem yang menyebabkan tidak terciptanya suatu tujuan dari zakat tersebut ialah ketidak siapannya seorang Amil bertemu dengan seorang muzakki yang meminta langsung zakatnya, menurut pendapat saya bahwa bila adan badan amil yang siap untuk mendatangi orang muslim yang kaya dan mendata semua harta yang dimilikinya lalu menagih jumlah zakat yang harus dikeluarkan, namun sampai saat ini banyak diantara harta orang muslim yang kaya tidak dambil zakatnya, padahal dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa” khuz min amwalihim shodaqatan tutohhiruhum wa tuzakkihim biha” yang menegaskan bahwa ambillah dari harta-harta mereka, menyuruh kita agar untuk datang kepada orang-orang yang memiliki harta banyak, karena dalam ayat tersebut ada kata khuz terdiri dari kata fiil amar yang menyuruh kita untuk mengambil sebagian harta yang dimiliki orang kaya tersebut yang bukan haknya dengan ketentuan syari’at islam Sehingga tujuan yang terdapat pada zakat itu memang baenar-benar terbukti, karena orang tersebut tidak dapat luput dari pembayaran zakatnya yang hal itu suatu kewajiban yang diperintahkan Allah swt dan sekaligus harta yang diambil itu semata-mata bukan hak mereka melainkan ada hak orang miskin, anak-anak yatim, ibnu sabil dan lain sebagainya, karena pada Masa sahabat Umar r.a pun, dia keliling untuk mengambil zakat orang-orang islam yang mempunyai banyak harta pada waktu itu, sehingga dalam sejarah disebutkan pada Masa Umar r.a pengelolaan zakat dapat dikatakan efektif karena dia terjun langsung untuk hak-hak orang miskin.

Transparansi antara Amil dengan Mustahiq.

Bila sebelumnya saya berpendapat bahwa trasparansi antara Amil dengan Muzakki, sekarang tentang trasparansi Amil dengan Mustahik yang hal ini juga perlu, karena bila kita melihat selama ini hasil dari zakat itu cukup banyak namun pendistribusiannya itu yang kurang efektif, karena menurut saya bahwa bila tidak adanya sebuah badan Amil tertentu serta independen yang langsung membagikan hasil zakat tersebut tanpa adanya perantara. Sehingga fungsionalisasi zakat dapat dirasakan langsung bagi seorang Mustahiq. Dan pengemubangan pemikiran zakat memang amatlah dibutuhkan untuk pembangunan umat manusia dan negara. Dan bila pemikiran zakat hanya dipahami sebagai individu yang berdimensikan agamawi masih tetap mentradisi dilingkungan umat islam maka tidak mungkin institusi keagamaan itu mampu memecahkan masalah-masalah baru tentang zakat yang berkembang dilingkungan umat islam. Dan tidak akan membuka gagasan baru tentang tentang pemikiran zakat dalam kaitannya dengan pembangunan. Maka problem kemiskinan juga akan semangkin bertambah.

Ada dua pendekatan yang efisien dan efektif tentang zakat, yaitu:
Pertama: pendekatan persial, dalam hal ini pertolongan terhadap simiskin dan lemah dilaksanakan secara langsung dan bersifat insidentil untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Kedua: pendekatan structural, cara seperti ini lebih mengutamakan pemberian pertolongan secara kontinu yang bertujuan agar si miskin dan lemah dapat mengatasi masalah kemiskinannya dan bahkan diharapkan nantinya mereka menjadi Muzakki.
Dengan pendekatan ini diharapkan zakat sebagai konsep sosial untuk meningkatkan kualitas hidup segala golongan masyarakat ( mustahiq ) sehingga dapat mengurangi kepincangan sosial. Hal ini berarti bahwa zakat disamping diamalkan sebagai konsep etika pribadi/individual yan dilaksanakan secara ritualistik, juga sebagai konsep etika sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. K.H. Didin Nafihuddin, M.Sc. Zakat dalam Perekonomian Modern .
GP. Gema Insani, 2002.
Dr. H. Muharram Marzuki. Islam Untuk Displin Ilmu Hukum. DEPARTEMEN AGAMA RI. 2002.
Ust. Segaf Hasan Baharun. Bagaimana Anda Menunaikan Zakat Dengan Benar?. Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah.
Bangil Pasuruan. 2001.
Dr. Muhammad Nejatullah Siddqi. Pemikiran Ekonomi Islam.
Lembaga Islam Untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. 1986

03 Mei 2009

Perkawinan Melalui Telepon Jarak Jauh

I. PENDAHULUAN
Perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku adalah ikatan lahir batin seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. berdasarkan ketuhanan yang maha esa (UU no. 1 tahun 1974 pasal 1). Perkawinan pada umumnya dilakukan disatu tempat seperti masjid, rumah, atau gedung dimana suami istri dan walinya hadir dalam tempat tersebut namun seiring perkembangan jaman hal tersebut mulai banyak disimpangi karena terkendala faktor jarak akhimya ditempuhlah perkawinan jarak jauh dengan menggunakan peralatan modern seperti telekonference, MMS, telepon, surat elektronik, SMS, faksmili dan sebagainya.

II. RUMUSAN MASALAH
Perkawinan jarak jauh dengan menggunakan peralatan modern seperti telekonference, MMS, telepon, surat elektronik, SMS, faksmili dan sebagainya menyebabkan pertanyaan hukum dimana permasalahannya adalah mengenai status sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Oleh sebab itu makalah ini dibuat untuk memperjelas status hukumnya.

III. PEMBAHASAN
“Saya terima nikahnya si Fulan binti Fulan dengan mas kawin sekian dibayar tunai”. Demikianlah lazimnya lafal kabul diucapkan mempelai pria usai pengucapan ijab oleh wali mempelai perempuan atau penghulu. Ijab dan kabul ini merupakan sebagian prosesi pernikahan agama Islam sekaligus salah satu rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Normalnya prosesi ini dilakukan dalam satu majelis. Artinya, ijab kabul dilakukan pada saat yang bersamaan dan disaksikan oleh dua orang saksi, namun situasi kini yang makin kompleks dan didukung kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, Misalnya: via teleconference, telepon, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS) maupun faksimili. Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang perkawinan:

Kompilasi Hukum Islam (KHI)
v Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
v Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada ;
a. Calon suami
b. Calon Istri
c. Wali Nikah
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan kabul
v Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

UU 1/1974 tentang Perkawinan
v Pasal 2 (1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Menjawab soal ijab kabul, Rifyal Ka’bah, hakim agung, menyatakan, selama dapat diyakinkan bahwa ’suara’ di seberang sana adalah orang yang berkepentingan, maka hal tersebut sah-sah saja. Soal pengertian satu majelis, Rifyal berpendapat pengertian satu majelis saat ini tidak bisa disamakan dengan satu majelis zaman nabi (Iskandar, 2008).
Rifyal yang menyabet gelar master dari Department of Social Sciences, Kairo, Mesir ini menganalogikan ijab dan kabul perkawinan dengan perdagangan yang menurut Islam juga harus dilakukan dalam satu majelis. “Tapi sekarang jual beli ekspor impor ’kan tidak begitu. Buyer (pembeli, red)-nya di Amerika Serikat, kita di sini. Dan itu di seluruh negara Islam dipandang sah-sah saja,” contoh Rifyal. Namun bukan berarti Rifyal setuju dengan penggunaan seluruh media komunikasi untuk ijab kabul perkawinan jarak jauh. Ia berpendapat teleconference dan telepon sebagai sarana yang memungkinkan ketimbang surat elektronik (surel), SMS dan faksimili. Alasan Rifyal lebih bersifat otentifikasi media yang digunakan. Artinya, sulit untuk memastikan bahwa surel, SMS maupun faksimili yang dikirimkan tersebut benar-benar dikirim oleh orang yang bersangkutan (Iskandar, 2008).
Senada dengan Rifyal, Abdus Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyadari perkembangan dunia saat ini tidak bisa lagi membatasi ijab dan kabul harus dalam satu ruang dan waktu. Menurut Abdus Salam, inti dari ijab dan kabul adalah akad atau perjanjian. Karenanya, sama dengan Rifyal, Abdus Salam berpendapat akad nikah atau ijab kabul sama dengan ijab kabul dalam jual beli. ”Pada prinsipnya sama harus ada ijab dan kabul yang jelas. Nah apabila kedua pihak yang berakad ini tidak berada satu majelis, kemudian melalui bantuan teknologi keduanya dapat dihubungkan dengan sangat meyakinkan, itu menurut saya dapat ’dihukumi’ satu majelis,” jelas Nawawi (Iskandar, 2008).
Ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah melakukan perkawinan jarak jauh. Ia saat itu menempuh studi di Mesir dan saat ijab kabul mewakilkan dirinya kepada orang lain lewat surat kuasa. Saat itu, Gus Dur sebagai mempelai pria diwakili kakeknya dari garis ibu, KH Bisri Syansuri.
Hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan perkawinan jarak jauh.
Jika dilihat dari syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang – undang dan hukum Islam maka perkawinan melalui peralatan modern tersebut tidaklah masalah sepanjang syarat tersebut terpenuhi.

KESIMPULAN
Maka dapat disimpulkan bahwa hukum pernikahan melalui telepon jarak jauh adalah sah selama syaratnya terpenuhi yaitu adanya:
· Mempelai laki-laki dan perempuan
· Maskawin
· Ijab qabul
· Wali
· Saksi

DAFTAR PUSTAKA
Saputra, Dhedy. 2008. Keabsahan Perkawinan dan Perceraian Jarak Jauh. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-saputradhe-8149&node=608&start=11&PHPSESSID=7ef6e323a54e817 c51a603fa3c103195. Diakses 30 Maret 2009

Iskandar, Dedy. 2008. Seputar Ijab Kabul dan Perceraian Jarak Jauh. http://patemanggung.ptasemarang.net/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=47. Diakses 30 Maret 2009

Kompilasi Hukum Islam (KHI)