14 Mei 2009

PENEGAKAN HUKUM PERLIDUNGAN KONSUMEN SEBAGAI WUJUD PELAYANAN PENCARI KEADILAN

abstrak
Penegakan hukum (law enforcement) yang bermuatan perlindungan konsumen memang sedang didambakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat (konsumen) yang sedang menjadi korban pengusaha (perusahaan) yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Kecenderungan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, merupakan tantangan riil yang menguji aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan dan mewujudkan penegakan hukum
Kata Kunci
penegakan hukum, pencari keadilan, perlindungan konsumen
Pendahuluan
Dunia perdagangan dan industri tumbuh dan berkembang semakin komplek akhir-alhir ini, sehingga melahirkan ketidak adilan sosial dan ekonomi bagi konsumen. Hubungan interdependensi yang ada antara pelaku usaha dan konsumendalam perdagangan, praktis bergeser ke arah dependensi konsumen terhadap dunia usaha. Dalam dalam hal, konsumen menerima segala sesuatu dari kalangan dunia usaha sebagai sesuatu yang “Given”, baik informasi, jenis dan macam produk, kualitas produk, dll praktis daya tawar konsumen semakin lemah. Kekuatan pasar sedemikian rupa (yang antara lain ditandai dengan pertumbuhan konglemerasi dan multi nasional corporation (MNC), menjadikan nasib konsumen semakin terpuruk.Akankah persoalan konsumen akan dapat diatasi melalui mekanisme hukum? Jawabnya tergantung pada bagaimana pelaku usaha dan konsumen serta pemerintah.Hukum perlindungan konsumen belum mampu menghilangkan semua ketidak adilan pasar, tanpa dibarengi dngan upaya memperbaiki mekanisme pasar itu sendiri. Oleh karena itu pembahasan tentang penegakan hukum penyelesesaian sengketa konsumen, hanyalah sebagian kecil dari upaya untuk menyelesaiakan sengketa konsumen sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia.Penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan didasarkan kepada undang-undang NO. 8. Tahun 1999 Tantang Pelindungan Konsumen (UUPK), KepPRES NO> 90 Tahun 2001 Tantang Pembentukan BPSK, Keputusan Memperindag RI NO. 301 Tahun 2001 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sektetariat BPSK, sertaKeputusan Memperindag RI NO. 350 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, maka terbentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia.

Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen
Aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi institusi yang penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya.Mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma norma hukum atau peraturan perundang undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga komponen ini, baik struktur hukum, substans hukum maupun budaya hukum oleh LM. Friedman dikatakan sebagai susunan struktur hukum (LM Friedman, 1975:11)Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam pembukaan UUD’45.Penegakan hukum dalam kurun waktu yang lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab hukum tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran. Dalam perkembangannya banyak para pelaku usaha telah melakukan pelanggaran serta penyalahgunaan untuk sebuah kepentingan usaha semata, sebaliknya para penegak hukum tidak mampu menjalankan supremasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap para aparatur hukum. Dalam kurun waktu tersebut hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasan, dan kepentingan golongan. Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi.Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha.Fakta menunjukkan bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum. Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai berikut: Pertama, sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang sendiri dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara yuridis dilindungi oleh undang-undang. Kedua, konsisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui lawyer). Hambatan psikologis ada pada mereka untuk memasuki prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin.
Pada akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan, ketimbang kasus-kasus konsumen. Ketiga, pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit, dan mahal.Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran prosedur peradilan yang formal, mahal dan berbelit-belit, bukan hanya terdapat di Negara-negara berkembang saja. Akan tetapi dalam beberapa kasus besar yang menyangkut kerugian dan banyaknya korban, barangkali, peradilan adalah tempat yang pas untuk penyelesaian masalah tersebut, karena aspek kepastian hukum seringkali masih dinilai banyak pihak sebagai suatu kelebihan dari dunia litigasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah. Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu hak dasar konsumen. Tujuan perlindungan konsumen dalam pasal 3 UUPK (butir c dan d) tegas menyatakan bahwa perlu adanya peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, serta upaya menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakkan secara kokoh dan konsisten, karena ketidak pastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Ketaatan ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. (Abdul Rahman Saleh, 2004:29).Pembaharuan dan penegakan hukum harus dimulai dari pemerintah, aparat hukum dan masyarakat, sebab tidak mudah untuk menyadarkan tentang arti dan makna hukum yang sesungguhnya, keberadaan lembaga-lembaga hukum di negara Indonesia tidak bekerja secara maksimal karena disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut akan menjadi kendala dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam perkembangan demokrasi hukum selalu dituntut untuk maju sesuai dengan paradigma hukum yang menjadi kewajiban kita sebagai masyarakat yang harus peka terhadap perubahan disekitarnya dan juga merupakan tantangan masa depan dalam membangun konstruksi hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum.Masyarakat Indonesia yang heterogen dan majemuk serta mempunyai sistem sosial yang berbeda-beda, dapat memberi pengaruh dan warna terhadap hukum, oleh karena itu rancangan konstruksi hukum harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Hukum juga bersumber pada unsur budaya, apabila beberapa budaya yang sangat berlainan saling berhubungan, maka penggalian hukum yang satu dengan yang lainnya akan menimbulkan akulturasi dan asimilasi, sebab proses interaksi beberapa unsur budaya tersebut, menuntut adanya suatu transformasi atau bahkan lepasnya, nilai-nilai yang menjadi dasar sistem hukum terdahulu sehingga memerlukan pembaharuan. Sebab hukum sebagai kerangka ideologi perubahan struktur dan kultur masyarakat (Erman Rajagukguk, 1983:72). Penegakan hukum perlindungan konsumen akan terlihat hasilnya apabila aparatur hukum, (dalam hal ini BPSK) baik mulai dari perancangan hukumnya serta masyarakat, hingga ke penegak hukumnya bisa menunjukan perannya masing-masing. Negara Indonesia sekarang ini tengah mengalami disintegrasi sosial dan ini adalah sebuah persoalan yang harus dihadapi dan harus dikembangkan kapasitas sistem sosial yang menghormati tingkatan-tingkatan pluralisme.Yang menjadi musuh masyarakat adalah seseorang yang melakukan kejahatan tanpa adanya sanksi dan dibebaskan begitu saja secara mutlak.(Mochtar Kusumaatmadja, 2002:85) Bahwa keberadan hukum dan kultur masyarakat berhubungan erat sekali, karena mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya. Konsepsi hukum yang akomodatif merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dan hendaknya bisa diterima oleh masyarakat luas. Peran masyarakat sangat menentukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era reformasi saat ini fungsi dan peranan masyarakat adalah sebagai pihak yang mengontrol terhadap hukum, dan ini merupakan komponen yang sangat manentukan dan butuh kesadaran dari mereka sendiri. Masyarakat Indonesia tengah berada dalam kondisi ideal dan sebagai tolak ukurnya adalah demokratisasi dan kebebasan menyampaikan pendapat dapat terealisasi dengan adanya aturan-aturan normatif yang sudah ada sesuai dengan cita-citakan bersama. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia juga perlu mendapat perhatian sebagaimana yang terkandung dalam filsafat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sehingga proses transformasi masyarakat benar-benar menjadi satu masyarakat dengan kultur yang.berlandaskan nilai-nilai pancasila. Berdasarkan realitas empirik di atas bahwasanya persoalan penegakan hukum dan transformasi kultur yang ada di masyarakat telah menimbulkan beberapa permasalahn yang berhubungan erat dengan dinamisasi dan progresifitas budaya masyarakat yang berimplikasi terhadap proses penggalian hukum dan penegakan supremasi hukum yang ada.
Makna Penegakan Hukum
Berbagai wacana yang dituangkan dalam berbagai media, hasil penelitian, survei, seringkali penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses peradilan di pengadilan. Penegakan hukum hanya diartikan sebagai tindakan represif belaka. Penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses penyelesaian perselisihan belaka. Pengertian pengertian tersebut dapat menyesatkan, karena tidak menyentuh secara menyeluruh fenomena dan masalah penegakan hukum. Ketika penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses di pengadilan belaka, maka akan menyesatkan, karena semestinya penegakan hukum bukan sekedar beracara di pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan kepolisian.Dimata masyarakat, institusi ini tidak kurang bermasalah bahkan sumber masalah bagi masyarakat. Demikian pula ketika penegakan hukum hanya diartiakan sebagai tindakan represif belaka, tanpa memasukkan upaya upaya pencegahan. Kalaupun pencegahan dimasukkan, biasanya hanya terbatas pada tatanan kontrol dalam arti tindakan tindakan seperti pemeriksaan dan pelaporan. Tidak kalah penting upaya penegakan hukum melalui upaya pencegahan yaitu dengan penataan aturan kerja, tata kerja, sistem pengorganisasian dan sebagainya.Fenomena penegakan hukum bukan semata mata berkaitan dengan sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda depan dalam berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan fenomena penegakan hukum, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.Dimata para intlektual pemahaman terhadap penegakan hukum juga bervariatif. Seorjono Soekanto, (2004:3) memberikan pengertian bahwa Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap sebagai serangkaian penjabaran nilai tanpa akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Sukarton Marmosudjono, bahwa Penegakan hukum adalah keseimbangan dari keseluruhan keberadaan dan kepribadiannya dan bertindak atas dasar kebenaran serta pertimbangan hati nurani dan keyakinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Salahuddin Wahid, bahwa Penegakan hukum adalah upaya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada dalam kaidah-kaidah hukum tersebut (Salahuddin Wahid, 2003:83). Pendapat yang lain dikemukakan oleh Barda Wawawi Arief, Penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hak asasi manusia, serta tegaknya kebenaran dan keadilan, dan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan praktek favoritisme, yang diwujudkan dalam seluruh norma atau tatanan kehidupan masyarakat (Barda Wawawi Arief, 2001:22).Al-Quran secara implisit juga menjelaskan tentang menegakkan kebenaran dan keadilan yang merupakan bagian dari penegakan hukum, sebagaimana yang tercantum surat An nisa’ yang mengatakan bahwa ;“Apabila kamu menghukum di antara manusia maka hukumlah dengan adil “(Surat An-Nisaa’:58). “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran atau keadilan” (Surat An-Nisaa’:135).“Tegakkanlah kebenaran dan keadilan walaupun pada dirimu sendiri, ayah, ibumu, maupun pada karib kerabatmu (kroni-kronimu)” (Surat An-Nisaa’ 135).
Komponen Komponen Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Penegakan hukum adalah sebuah sistem yang akan meliputi berbagai komponen sebagai subsistem, termasuk penegak hukum itu sendiri. Pergeseran itu juga akan memungkinkan meninjau secara lebih meluas mengenai fenomena dan persoalan penegakan hukum kita. Suatu keadaan obyektif yang tidak perlu disembunyikan atau ditutupi yaitu masih banyak keluhan mengenai pelaksanaan penegakan hukum. Keluhan tidak hanya dari pencari keadilan yang terlibat yang berkepentingan atas suatu persoalan hukum konkrit, melainkan masyarakat pada umumnya, atau dari mereka yang menempatkan diri sebagai juru bicara pencari keadilan atau masyarakat. Namun sorotan sorotan terhadap keadaan yang obyektif tersebut seringkali juga tidak memuaskan dalam upaya pemecahan masalah, karena pemahaman pemahaman yang diberikan terhadap penegakan hukum kurang tepat atau kurang lengkap (Baqir Manan, 2005:25)
Fenomena penegakan hukum bukan semata mata berkaitan dengan sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda depan dalam berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan fenomena penegakan hukm, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.
Komponen komponen penegakan hukum bukan sekedar proses peradilan apalagi proses di pengadilan. Selain itu masih di dapati komponen komponen lain yang besar peran dan pengaruhnya terhadap kegaduan hukum kita. Diantara komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut:

A.Substansi/Aturan hukum yang ditegakkan atau dilaksanakan

Faktor ini merupakan output dari sistem hukum atau norma-norma hukum yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku manusia serta hak dan kewajiban manusia, yaitu mengatur pihak yang menegakan dan melaksanakan hukum maupun pihak yang diatur atau yang terkena peraturan. Keberadaan hukum tertulis ini tergantung pula terhadap kualitas para pembentuknya, sebab dalam pembuatan hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan bersifat stabil yang mampu bertahan untuk jangka waktu yang lama, apabila pembentuk Undang-undang (“legal drafter”) atau peraturan tertulis itu tidak berkualitas (ahli dan professional) maka jangan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bahkan hanya mementingkan penguasa dan merugikan rakyat atau masyarakat.Permasalahan substantif hukum adalah kuatnya paradigma positivisme hukum berdasarkan pada tradisi sistem hukum “civil law” yang selalu menitik beratkan pada keberadaan hukum positif sebagai dasar pengambilan keputusan sehingga orientasi utamanya adalah pada pembuatan peraturan perundang-undangan seperti yang telah dilakukan untuk mengganti produk hukum warisan Belanda yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasiSudah menjadi pengetahuan yang luas, banyak dijumpai keadaan yang tidak atau belum memuaskan mengenai aturan aturan hukum yang ditegakkan ( Hukum substantif atau hukum materiil

B. Kelembagaan Penegak Hukum

pelaksanaan penegakan hukum adalah lembaga hukum yang diciptakan oleh negara berdasarkan Undang-undang. Hal ini sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Indonesia yang harus juga di bangun sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini. Penegakan hukum oleh lembaga struktural ini tergantung pada kemampuan, kejujuran (moral), keberanian, dan kemauan bekerja keras secara profesional manusia-manusia yang ada di lembaga tersebut. Sistem lembaga peradilan yang ada belum mampu memberikan pelayanan hukum yang memuaskan sehingga kepercayaan masyarakat mulai pudar terhadapnya, yang terpenting lagi menejemen organisasi yang perlu dibenai dan di evaluasi kembali. Lahirnya BPSK yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (lihat pasal 49 ayat 1 UUPK) yang penyelesaiannya dilakukan dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase menyebabkan BPSK merupakan lembaga non litigasi (ADR) atau sebagai lembaga penegak hukum yang diakui keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan.Adanya politik hukum yang menyangkut lembaga peradilan yaitu dibangunnya system dinding dinding pemisah antara pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Dinding dinding pemisah ini bukan saja menimbulkan curiga dan saling menggunjing diantara para penegak hukum, tetapi dalam berbagai hal

C. Perilaku Penegak Hukum

Aparatur hukum merupakan penyumbang atas buruknya sistem hukum Indonesia, citra aparatur hukum sebagai mafia peradilan. Keadilan merupakan barang langka bagi masyarakat, sebab pengadilan lebih merupakan tempat mencari kemenangan berdasarkan kekuatan ekonomi dari tempat mencari keadilan. Kotornya dunia peradilan bukan hanya ditunjukkan melalui vonis bebas yang dijatuhkan hakim atas terdakwa perkara korupsi, melainkan juga terlibatnya penegak hukum didalam tindak pidana korupsi yang seolah tanpa baas. Berkaitan dengan maraknya korupsi dikalangan para penegak hukum, Denny Indrayana seorang ahli hukum Tata Negara UGM mengemukakan, bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka sangat luar biasa apabila yang melakukan korupsi adalah penegak hukum itu sendiri. (Kompas, 21 Juni 2006).Sejumlah perkara pidana korupsi telah menyeret oknum penegak hukum ke kursi terdakwa/tersangka. Kasus yang masih hangat, misalnya terseretnya sejumlah petinggi polisi dalam perkara pembobolan BNI oleh Grup Gramarindo sebesar 1.2 trilyun (3 polisi yang terlibat). Tidak cukup polisi, giliran hakim yang terseret glombang tindak pidana korupsi (Hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman Allositandi) dalam perkara korupsi di PT Jamsostek. Kasus suap MA dengan terdakwa Probosutejo (Jawa pos, 19 Juni 2006).Contoh kasus diatas sudah cukup menggambarkan, betapa kotornya dunia peradilan telah memanfaatkan kewenangan dan kekuasaannya hanya untuk ambil bagian memperoleh keuntungan saat menangani perkara tindak pidana korupsi. Gambaran di atas memperlihatkan bagaimana wajah aparatur hukum terutama kejaksaan, kepolisian, dan hakim, serta profesi advokat di Indonesia, harus segera dicarikan solusi atau formula yang tepat karena hal ini sudah menjadi penyakit yang kronis bagi bangsa ini. Faktor paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengoptimalkan penegakan hukum adalah factor sosok penegak hukumnya (Ahmad Ali, 2002;90). Permasalahan aparatur hukum terletak pada menejemen organisasi dan menejemen sumber daya manusia yang meliputi masalah struktur, fungsi, dan mekanisme organisasi yang tidak efesien, sedangkan menejemen sumber daya manusia terkait dengan upaya untuk mendapatkan aparat hukum yang berkualitas, tingkat pendidikan yang sesuai dan sistem evaluasi kerja yang fair berdasarkan kompetensi dan prestasi.

D. Faktor Sarana dan Fasilitas.

Penegakan hukum tanpa adanya sarana atau fasilitas, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar, sebab sarana dan fasilitas harus mencakup sumber daya manuasia yang berpendidikan dan terampil, manajemen peradilan/pengorganisasian yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Karena tugas yang diemban sangatlah berat, oleh sebab itu sarana dan prasarana merupakan faktor yang mendukung dalam penegakan hukum, dengan demikian pelaksanaan penegakan hukum bisa secara optimal sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegakan hukum dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dilakukan secara aktual.

Kesimpulan

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman atau dasar bagi perbuatan atau sikap yang dianggap sesuai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undang semata, tetapi penegakan supremasi hukum merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan secara umum dalam pembangunan di berbagai bidang, termasuk di bidang perlindungan hak-hak konsumen. Ketika aparat gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, maka ini sebenarnya dapat dijadikan indikasi kegagalan membangun pemerintahan yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad, 2002, Keterpurukan Hkum di Indonsia, Jaskarta, Ghalia Indonesia.

Arief Nawawi, Barda., 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Friedman, L.M., 1975,The Legal System; A Social Perspective, New York, Russel Sage Foundation,
Kusumaatmadja, Mochtar., 2002. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni. Manan,Baqir, Prof, Dr, Opini, Peningkatan Peranan Penegakan Hukum, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol. 4, No. 6, Maret-April 2005 Rajagukguk, Erman., 1983. Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Bina Aksara.Saleh Abdulrahman, Opini, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol. 5, No. 1, Mei-Juni 2005 Soekanto,Soerjono., 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahid, Salahuddin., 2003. Basmi Korupsi Jihad Akbar Bangsa Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu dan Center For Good Governance Studies.
Jawa Pos, 19 Juni 2006Kompas, 30 Desember 2002
Kompas, 21 Juni, 2006

1 komentar:

  1. PT. TUNAS FINANCE MENYENGSARAKAN KONSUMEN

    Singkat kronologisnya, saya kredit truk dengan 36 X cicilan @ Rp. 3,5 jt-an.
    Setelah 14 X nyicil, truk hilang. Ternyata penggantian dari perusahaan
    asuransi (PT. Asuransi Wahana Tata) hanya cukup untuk menutup 22 X pelunasan
    (cicilan + bunga) yang belum jatuh tempo. Akhirnya saya yang telah mengeluarkan
    biaya lk. 115 juta (uang muka + cicilan + perlengkapan truk), dipaksa untuk
    menerima pengembalian yang jumlahnya lk Rp. 3,4 jt.
    Menurut petugas PT. Tunas Finance (Sdr. Ali Imron), klaim asuransi yang cair
    dari PT. Asuransi Wahana Tata, sebagian digunakan untuk membayar pengurusan
    Surat Laporan Kemajuan Penyelidikan di Polda Jawa Tengah di Semarang.
    (Atau dengan kata lain, konsumen telah dipaksa melakukan suap di Polda Jateng).
    Jelas dalam hal ini PT. Tunas Finance (PT. Tunas Financindo Sarana) telah memaksa
    konsumen taat pada perjanjian susulan yang sebelumnya tidak diperjanjikan.
    Tentu saja kondisi perjanjian susulan itu sangatlah memberikan keuntungan
    maksimal bagi pelaku usaha, tidak perduli berapapun kerugian yang diderita konsumen.
    Sebagai catatan, perjajian yang dibuat tidak didaftarkan di kantor Pendaftaran
    Jaminan Fidusia di tempat domisili debitur/konsumen.

    Dan melalui surat terbuka ini saya ingin mengajak segenap komponen bangsa yang perduli
    terhadap masalah Perlindungan Konsumen, untuk menuntut PT. Tunas Finance secara pidana
    maupun perdata. Setidaknya hal ini untuk mencegah jatuhnya korban PT. Tunas Finance
    (PT. Tunas Financindo Sarana) lainnya.
    Saya nantikan partisipasi Anda sekalian. Terima kasih.

    David
    HP. 0274-9345675.

    BalasHapus