09 Mei 2009

PERBEDAAN DAN EFEKTIVITAS ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL


Suatu Analisis Pengelolaan Zakat dan Pajak di Indonesia
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Mengenal cara memanfaatkan harta atau rezeki yang diberikan Tuhan, ajaran isam memberikan pedoman dan wadah yang jelas, diantaranya adalah melalui zakat, yaitu sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan rezeki.banyak hal yang diambil manfaatnya dengan adanya lembaga zakat ini. Tulisan dibawah ini mencoba memberikan tinjauan terhadap pelaksanaan zakat dan bagaimana penyetaraan pajak dengan zakat, yang hal ini terdapat suatu ketidak relefansinya antara pajak dan zakat dalam meminimalisir kemiskinan yang telah melaju kencang dinegara kita ini.
Efektivitas pelaksanaan zakat dapat merupakan salah satu sektor penunjang lajunya pertumbuhan ekonomi Nasional Negara Republik Indonesia. Jika pada masa sebelum islam pajak atau cukai merupakan sumber utama untuk membelanjai usaha-usaha perbaikan dalam suatu Negara maka zakat dalam kepecayaan islam jauh lebih luhur dan mulia fungsinya. Kalau pajak merupakan kewajiban semata-mata, maka zakat selain merupakan kewajiban juga sekaligus merupakan ibadah dan usaha pendekatan diri kepada Allah SWT. Sesuai dengan kejujuran masing-masing. Dan pajak juga dipungut dari simiskin maupun dari simampu dan senantiasa pajak dipungut dari rakyat jelata dan juga para pengusaha, akan tetapi hal ini tidak efektif dalam meminimalisir kemiskinan karena dalam penyaluran pajak tersebut tidak semata-mata untuk menurunkan angka kemiskinan, bahkan pada saat ini angka kemiskinan semangkin meningkat, padahal dari semua instalasi dipungut yang namanya pajak baik itu pajak yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sampai pada pajak perdagangan, sedangkan zakat dipungut dari simampu baik dia rakyat jelata, pegawai, pejabat, penguasa, pengusaha, pemuka-pemuka agama dan lain sebagainya. Dan adapun hasil dari pengumpulan zakat tersebut dapat disalurkan kepada orang ang miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat dominan dalam memberantas kemiskinan, akan tetapi suatu pertanyaan, apakah penarikan dan pelaksanaan zakat itu sudah efektif? Hal inilah yang nantinya akan dibahas dalam tulisan ini.
Rumusan Masalah.
Disini saya akan membahas sejauh mana peran zakat dan pajak dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian Nasional dan dapat meminimalisir kemiskinanan yang terdapat di dalam Negara kita ini.
Dan dalam hal ini juga sejauh mana peran Negara pada masalah zakat dan pajak dalam pelakasanaannya sehingga dapat terciptanya cita-cita. Dan juga bagaimana tinjauan atas wajibnya pajak dalam konteks Negara dan kewajiban zakat dalam konteks Agama. Hal ini memang bertolak belakang dari segi kewajiban akan tetapi saya mencoba untuk menganalisis sejauh mana peran kewajiban itu terhadap diri seseorang dalam meningkatkan kesadaran untuk mengeluarkan atau membayar apa yang wajib ia keluarkan ataw ia bayarkan. Dan kalau kita boleh bertanya bahwa Negara Indonesia ini dapat dikatakan Negara yang penduduknya mayoritas islam, akan tetapi mengapa rakyat yang tidak mampu juga mayoritas islam, ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran ummat Muslim yang kaya terhadap ummat Muslim yang miskin dalam hal saling menolong. Dan juga berapa banyak penguasaha yang dipungut pajaknya, bahkan tidak sedikit yang dipungut dari pajak tersebut akan tetapi mengapa kemiskinan di Negara kita ini juga semangkin bertambah bahkan semangkin meningkat.
Adapun saya akan mencoba membahas masalah-masalah zakat dan pajak yang pada bagiaan berikut ini:
I. Zakat dan Pajak
1.Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
- Unsur paksaan.
- Unsur Pengelola.
- Dari Sisi Tujuan.
2. Perbedaan antara zakat dan pajak
- Dari Segi Nama.
- Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban.
- Dari Segi Objek dan Persentase dan Pemanfaatan
II. Trasparansi antara Amil dengan Muzakki.
III. Transparansi antara Amil dengan Mustahik.
IV. Daftar Pustaka.

ZAKAT DAN PAJAK

Berbagai pendapat kini berkembang di kalangan masyarakat tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Sebagian mempersamakan secara mutlak, yaitu sama daam status hukumnya, tata cara pengambilannya, maupun pemanfaatannya. Sebagian lagi membedakannya secara mutlak, berbeda dalam pengertian, tujuan, tata cara pengambilan, sekaligus penggunaannya. Tetapi, ada pula yang melihat bahwa pada sisi tertentu terdapat kesamaan antara keduanya. Sedangkan pada sisi lain, terdapat perbedaan yan sangat mendasar antara keduanya:

1. Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak, antara lain sebagai berikut:
a. Unsur Paksaan.
Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat, wajib memaksanya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam surat At-Taubah: 103.
Dalam sebuah riwayat Abu Dawud dikemukakan bahwa ketika banyak orang mengingkari kewajiban zakat, di zaman Abu Bakar As-siddiq, beliau bersabda:
Artinya:
“ ...Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajban sholat dengan dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, jika mereka menolak mengeluarkan zakat unta yang biasa mereka tunaikan kepada Rasullah saw, pastiaku akan memeranginya, karena penolakan tersebut.”

Demikian pula halnya seorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib ajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.

b. Unsur Pengelola.
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-taubah : 60. Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus enangani zakat, yang memenuhi persaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya secara tepat dan benar.
Dalam bab III Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Disamping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
Kedua, menjaga perasaan rendah hati para mustahik zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para wajib zakat ( muzakki ).
Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta, zakat menurut prioritas yang ada pada suatu tempat.
Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintah yang islami.
Sementara itu dalam bab II pasal 5 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat, melalui amil zakat, bertujuan:
Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tututan agama.
Meningkatkan fungsi peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Meningkatkan hasil guna da daya guna zakat.
Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan ) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali,yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Dari Sudut Tujuan.
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah yaitu sebagai berikut:
Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat islam.
Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masyarakat.
Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup para gelandangan, para pengangguran, dan para tunasosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untui itu.
Pada akhirnya, zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman.
Demikian pula pajak, dalam beberapa tujuan relatif sama dengan tujuan tersebut diatas, terutama dalam hal pemebiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Sjechul Hdi Purnomo mengemukakan bahwa terdapat kesamaan dalam tujuan zakat dengan pajak, yaitu sebagaio sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.

2. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persaman di antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Dari Segi Nama.
secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, bekah, tunbuh, maslahat, dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh, berkah, dan berkembang. Demikian pula pada muzakki. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam Surah Ar-ruum: 39 dan Surah At-taubah: 103.
Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dhoribah yang secara etimologis berarti beban, seperti dalam kalimat:
“ ia telah membebankan kepadanya upeti untuk dibayarkan”
Kadangkala diartikan pula dengan Al-jizyah yang berarti pajak tanah ( upeti ), yang diserahkan oleh ahli dzimmah ( orang yang tetap dalam kekafiran, tetapi tunduk pada aturan pemerintah islami ).

b. Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban.

Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang bersifat qothi, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang masa. Yusuf Al-Qordhowi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan oleh siapapun. Seperti halnya sholat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di samping sebagai ibadah yang mengandung berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Karena itu, dalam pembahasan fiqhiyah, kajian zakat dimasukkan ke dalam bagian ibadah, bersama kajian tentang thaharah ( bersuci ), shalat, shaum, dan haji. Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara bersadarkan undang-undang.

b.Dari Sisi Objek dan Persentase dan Pemanfaatan.
Zakat, memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadist Nabi. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah surat at-taubah: 60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahik.
Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung pada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalamnya berbagai literatur dikemukaan bahwa besarnya pajak sangat tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:
a) Pajak pribadi. Dalam hal ini pengenaan pajak lebih memperhatikan keadaan pribadi seseorang, seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban finansial lainnya.
b) Pajak kebendaan. Yang diperhatikan adalah objeknya, pribadi wajib pajak dikesampinkan ( PPH Badan Hukum )
c) Pajak atas kekayaan. Yang menjadi objek pajak adalah kekayaan saeseorang atau Badan (PKK).
d) Pajak atas bertambahnya kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami kenaikan/pertambahan kekayaan, biasanya dikenakan hanya satu kali.
e) Pajak atas pemakaian( konsumsi ). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI)
f) Pajak yang menambah biaya produksi. Yaitu pajak yang dipungut karena jasa negara yang secara langsung dapat dinikmati oleh para produsen.
Jika zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama. Sjechul Hadi Purnomo menyatakan bahwa letak persamaan antara pendayagunaan pajak dan zakat adalah semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: 1. untuk agama non-islam. 2. untuk Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 3. yang tidak mengandung taqarrub ( kebajikan, kebaikan menurut ajaran islam)
4. dan yang berbau maksiat dan atau syirik menurut pandangan ajaran islam. Secara khusus Sjechul Hadi Purnomo juga menyatakan bahwa letak perbedaan pendayagunaan zakat dan pajak adalah sebagai berikut:
1. Empat macam pengecualian tersebut di atas tidak dapat dibayari dari dana zakat, sekalipun dapat dibiayai dari dana pajak. Karena keempat macam pengecualian tersebut bertentangan dengan arti ibadah dari zakat. Bahkan untuk pembangunan sarana agama non-muslim, aliran kepercayaan dan yang berbau maksiat dan syirik, dianggap membahayakan ajaran islam.
2. Banyak bidang yang dapat dibiayai dari dana zakat, tetapi tidak dapat dibiayai dari dana pajak, yaitu program dan kegiatan yang dapat dimasukkan dalam kategori mustahik zakat,-amilin, mu’allaf, riqab, dan gharim
Muhammad Baqir Al-Habsy mengemukakan bahwa perbedaan esensial antar zakat dan pajak antara lain sebagai berikut:
ketentuan kadar zakat yang diwajibkan oleh syari’at atas masing-masing jenis harta, seperti 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, dan 20 persen yang tidak sama dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan oleh setiap pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
Niat khusus yang menyertain pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah swt yang tidak dapat dipersamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
Ketentuan khusus tentang orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang dipebolehkan maupun tidak diperbolehkan menerima zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah diketahui secara jelas bahwa zakat dan pajak, meskipun pada beberapa sisi memiliki kemiripan dan kesamaan, akan tetapi pada sisi-sisi yang lain, memiliki beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Karenanya, tidak mungkin antara keduanya dianggap sama secara mutlak.
Keberadaan zakat bersifat abadi, sementara keberadaan pajak sangat ditentukan oleh kebijakan pemeriintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang. Demikian pula zakat hanya diwajibkan kepada kaum muslimin yang memenuhi persyaratan objek atau sumber zakat, sedangkan pajak berlaku pada setiap warga negara, dengan tidak membedakan agama yang dianutnya. Demikian pula dalam aspek pemanfaatan dan pendayagunaan.

Transparansi Antara Amil dan Muzakki

Menurut analisis saya, bahwa salah satu problem yang menyebabkan tidak terciptanya suatu tujuan dari zakat tersebut ialah ketidak siapannya seorang Amil bertemu dengan seorang muzakki yang meminta langsung zakatnya, menurut pendapat saya bahwa bila adan badan amil yang siap untuk mendatangi orang muslim yang kaya dan mendata semua harta yang dimilikinya lalu menagih jumlah zakat yang harus dikeluarkan, namun sampai saat ini banyak diantara harta orang muslim yang kaya tidak dambil zakatnya, padahal dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa” khuz min amwalihim shodaqatan tutohhiruhum wa tuzakkihim biha” yang menegaskan bahwa ambillah dari harta-harta mereka, menyuruh kita agar untuk datang kepada orang-orang yang memiliki harta banyak, karena dalam ayat tersebut ada kata khuz terdiri dari kata fiil amar yang menyuruh kita untuk mengambil sebagian harta yang dimiliki orang kaya tersebut yang bukan haknya dengan ketentuan syari’at islam Sehingga tujuan yang terdapat pada zakat itu memang baenar-benar terbukti, karena orang tersebut tidak dapat luput dari pembayaran zakatnya yang hal itu suatu kewajiban yang diperintahkan Allah swt dan sekaligus harta yang diambil itu semata-mata bukan hak mereka melainkan ada hak orang miskin, anak-anak yatim, ibnu sabil dan lain sebagainya, karena pada Masa sahabat Umar r.a pun, dia keliling untuk mengambil zakat orang-orang islam yang mempunyai banyak harta pada waktu itu, sehingga dalam sejarah disebutkan pada Masa Umar r.a pengelolaan zakat dapat dikatakan efektif karena dia terjun langsung untuk hak-hak orang miskin.

Transparansi antara Amil dengan Mustahiq.

Bila sebelumnya saya berpendapat bahwa trasparansi antara Amil dengan Muzakki, sekarang tentang trasparansi Amil dengan Mustahik yang hal ini juga perlu, karena bila kita melihat selama ini hasil dari zakat itu cukup banyak namun pendistribusiannya itu yang kurang efektif, karena menurut saya bahwa bila tidak adanya sebuah badan Amil tertentu serta independen yang langsung membagikan hasil zakat tersebut tanpa adanya perantara. Sehingga fungsionalisasi zakat dapat dirasakan langsung bagi seorang Mustahiq. Dan pengemubangan pemikiran zakat memang amatlah dibutuhkan untuk pembangunan umat manusia dan negara. Dan bila pemikiran zakat hanya dipahami sebagai individu yang berdimensikan agamawi masih tetap mentradisi dilingkungan umat islam maka tidak mungkin institusi keagamaan itu mampu memecahkan masalah-masalah baru tentang zakat yang berkembang dilingkungan umat islam. Dan tidak akan membuka gagasan baru tentang tentang pemikiran zakat dalam kaitannya dengan pembangunan. Maka problem kemiskinan juga akan semangkin bertambah.

Ada dua pendekatan yang efisien dan efektif tentang zakat, yaitu:
Pertama: pendekatan persial, dalam hal ini pertolongan terhadap simiskin dan lemah dilaksanakan secara langsung dan bersifat insidentil untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Kedua: pendekatan structural, cara seperti ini lebih mengutamakan pemberian pertolongan secara kontinu yang bertujuan agar si miskin dan lemah dapat mengatasi masalah kemiskinannya dan bahkan diharapkan nantinya mereka menjadi Muzakki.
Dengan pendekatan ini diharapkan zakat sebagai konsep sosial untuk meningkatkan kualitas hidup segala golongan masyarakat ( mustahiq ) sehingga dapat mengurangi kepincangan sosial. Hal ini berarti bahwa zakat disamping diamalkan sebagai konsep etika pribadi/individual yan dilaksanakan secara ritualistik, juga sebagai konsep etika sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. K.H. Didin Nafihuddin, M.Sc. Zakat dalam Perekonomian Modern .
GP. Gema Insani, 2002.
Dr. H. Muharram Marzuki. Islam Untuk Displin Ilmu Hukum. DEPARTEMEN AGAMA RI. 2002.
Ust. Segaf Hasan Baharun. Bagaimana Anda Menunaikan Zakat Dengan Benar?. Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah.
Bangil Pasuruan. 2001.
Dr. Muhammad Nejatullah Siddqi. Pemikiran Ekonomi Islam.
Lembaga Islam Untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar